Sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan, selain memperhatikan aspek ekonomi masyarakat sekitar, TBIG turut menjaga ekosistem lingkungan.
Hal ini muncul dari pengalaman Head of CSR Department Tower Bersama Group, Fahmi Sutan Alatas yang ketika berkunjung ke Pekalongan, mencoba air sumur yang keruh serta berbuih.
“Saya ketika pertama kali datang, cuci tangan bahkan gak berani pake air di sini. Takut keracunan limbah batik“, ujarnya.
Dari situlah, Fahmi bersama tim dari TBIG memiliki komitmen untuk menjaga lingkungan lewat penggunaan pewarna alami dan penerapan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di setiap lini produksi.
“Kalau pakai pewarna sintetis, cukup sekali celup, cepat dan murah,” ujar Ahmad Faisal, pelatih utama Rumah Batik TBIG, saat ditemui pada kunjungan peserta Journalism Fellowship on CSR 2025, Selasa, 13 Mei 2025.
Di sesi pelatihan, Fahmi menjelaskan tahap demi tahap dalam pembuatan pewarna alami sebagai bahan pewarna batik.
TBIG memanfaatkan pewarna alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Salah satunya adalah indigofera, tanaman yang daunnya diolah hingga menghasilkan zat warna indigo.
“Daunnya kita olah, lalu keluar zat warna indigo. Dari situlah lahir warna nila alami,” jelas Faisal.
Tak hanya indigofera, TBIG juga memperkenalkan kayu nangka sebagai sumber warna kuning alami. Uniknya, warna ini tidak berasal dari buah, melainkan dari batang kayu yang sudah tua.
Upaya ini menjadi bagian dari pendekatan holistik TBIG dalam melestarikan teknik pewarnaan tradisional yang ramah lingkungan.
Dalam setiap pelatihannya, TBIG menekankan prinsip keberlanjutan. “TBIG tak setengah-setengah dalam urusan pewarna alami, sebab dalam setiap pelatihan mereka, prinsip ramah lingkungan adalah kurikulum utama,” ujar seorang narasumber dari pelatihan tersebut.
Warna-warna alami memang cenderung lebih kusam dibandingkan dengan pewarna sintetis. Namun, di situlah letak keunikan dan keindahan batik tulis TBIG. Di setiap helainya membawa cerita tentang alam, ketekunan, dan kearifan lokal.
Kepedulian TBIG terhadap lingkungan tak berhenti pada pemilihan bahan pewarna.
Fahmi Sutan Alatas juga menegaskan pentingnya pengelolaan limbah dalam proses produksi batik modern.
“Kami sudah lama pakai IPAL, dan sebetulnya ini bisa direplikasi siapa saja, tidak mahal hanya sekitar 10 juta saja,” tuturnya sambil mengajak peserta fellowship menyaksikan langsung Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Rumah Batik TBIG.
Air bekas pewarna tidak langsung dibuang, tetapi disimpan dalam wadah khusus.
Setelah penuh, mesin IPAL otomatis memulai proses filtrasi bertahap. Proses ini ditutup dengan uji kualitas sederhana namun efektif.
“Kalau air sudah masuk kolam ini, kami uji dulu dengan menaruh ikan di dalamnya. Kalau ikannya langsung mati dalam satu hari, berarti proses harus diulang, kami tidak kompromi,” tegas Fahmi.
Dengan pendekatan yang menyeluruh, TBIG tidak hanya menghasilkan batik yang indah, tetapi juga memberikan kontribusi nyata terhadap pelestarian lingkungan.
Batik bukan sekadar warisan budaya, melainkan juga medium edukasi dan aksi nyata bagi masa depan yang lebih hijau.
Source: ayobandung.com